Di balik tiap sisa makanan dan daun kering, ada bumi yang menunggu untuk dihidupkan kembali.
Setiap hari, di dapur rumah kita, di kantin sekolah, atau di masjid, sisa makanan dan daun-daun kering ditumpuk, dibuang, atau dibiarkan mengering di sudut. Kita menganggap itu “hal biasa”.
Tapi ketika satu timbunan besar muncul di ujung gang, kita baru tersadar: sampah organik itu tak pernah benar-benar hilang — ia hanya bergeser, menunggu untuk diolah.
Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan hingga 68,7 juta ton limbah per tahun, dengan sekitar 60 % nya merupakan limbah organik, termasuk sisa makanan yang mencapai lebih dari 40 % dari total. EnviroNews+3journal.unika.ac.id+3UNNES Journal+3
Angka ini bukan sekadar statistik — ia adalah gambaran bahwa bumi kita terus menerima apa yang kita buang tanpa diberi kesempatan untuk mengembalikannya ke dalam siklus kehidupan.
Akar Masalah yang Sering Terlewat
Limbah makanan dan organik seharusnya menjadi “masukan” bagi tanah, bukan “beban” bagi tempat pembuangan akhir. Tapi kenyataannya:
- Budaya membuang masih lebih dominan daripada budaya mengolah.
- Banyak rumah tangga, sekolah, dan masjid belum memiliki sistem pemilahan organik dari sumber pertama.
- Pengolahan organik masih dipandang sebagai “tambahan”, bukan bagian utama dari tanggung jawab lingkungan.
Menurut data, dari total limbah yang tercatat sebanyak sekitar 30,97 juta ton di tahun 2023, sekitar 34,76 % atau 10,77 juta ton adalah limbah yang belum terkelola dengan baik. Databoks
Ketika organik dibiarkan menumpuk, ia menghasilkan gas rumah kaca seperti metana yang kemampuan pemanasan globalnya bisa 25× lebih besar dari CO₂. Perubahan Iklim
Jadi, akar masalahnya bukan hanya “lebihan sampah”, tapi pilihan kita terhadap bagaimana kita membuang — atau sebaliknya, memanfaatkannya.
Dampak yang Terlihat dan Tak Terlihat
Timbunan limbah organik yang menggunung bukan hanya pemandangan yang kurang sedap — ia juga menimbulkan dampak nyata:
- Tanah menjadi jenuh dan kehilangan kesuburan karena mikroorganisme yang seharusnya membantu justru terganggu. UNNES Journal
- Emisi gas metana meningkat, mempercepat pemanasan global dan memperburuk perubahan iklim.
- Banjir dan genangan menjadi lebih sering di wilayah perkotaan karena sistem drainase tersumbat sampah.
- Nilai estetika lingkungan sekolah dan masjid menurun — dan dengan itu, rasa peduli terhadap ruang bersama juga ikut menipis.
Di sekolah, misalnya, area kebersihan bisa terganggu karena tumpukan sampah organik di sekitar kantin atau taman. Ketika ruang bermain anak-anak tercemar, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar tentang alam dalam kondisi yang sehat.
Inisiatif yang Perlu Kita Lakukan—Dan Kenapa
Mengubah limbah organik menjadi peluang bukanlah mimpi jauh. Inisiatif sederhana bisa membawa perubahan besar, dan berikut adalah langkah-nyata yang bisa dilakukan:
- Pemilahan dari sumbernya: Pastikan sekolah dan masjid memilah limbah menjadi dua kategori: organik dan non-organik.
Kenapa? Karena pemilahan meningkatkan efisiensi pengolahan dan mengurangi beban pembuangan. - Daur ulang jadi kompos atau pupuk cair: Dengan alat sederhana dan struktur yang tepat, sisa makanan dan daun kering dapat diolah menjadi produk yang berguna untuk taman sekolah atau kebun masjid.
Kenapa? Karena limbah organik seharusnya menjadi “sumber kehidupan”, bukan beban lingkungan. - Edukasi rutin komunitas: Libatkan siswa, guru, jamaah masjid, dan warga sekitar dalam pelatihan daur ulang organik.
Kenapa? Karena perubahan perilaku lahir dari kesadaran — dan kesadaran tumbuh ketika kita melihat hasil dari tangan kita sendiri.
Dengan melakukan inisiatif ini, sekolah dan masjid tidak hanya mengurangi sampah, tapi juga membentuk budaya peduli lingkungan yang kelak akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak-anak kita.
Penutup: Mengubah Tumpukan Menjadi Tanaman Harapan
Timbunan sampah organik yang kita lihat bukan hanya masalah teknis — ia adalah panggilan bagi kita untuk berpikir ulang tentang cara kita hidup.
Ketika sekolah atau masjid mulai memilah sebuah sisa makanan, itu bukan hanya soal kebersihan — itu soal menanam benih empati kepada bumi, dan kepada generasi yang akan datang.
Mari kita ubah timbunan itu menjadi kompos. Ubah genggaman daun kering menjadi pupuk.
Karena jika kita membiarkannya menumpuk, bukan hanya sampah yang bertambah — tapi jarak antara manusia dan alam yang semakin melebar.
“Mari bergandeng tangan dalam gerakan daur ulang limbah organik. Sumbangkan donasi Anda untuk alat daur ulang organik di sekolah dan masjid — karena setiap daun kering punya potensi, setiap sisa makanan punya arti.”





