Karena bumi tidak pernah menolak kita — sampai akhirnya ia lelah menampung semua yang kita buang.
Di bawah terik matahari, sebuah bukit berdiri — bukan bukit hijau, tapi bukit sampah. Puluhan ton sampah organik menumpuk, membentuk lanskap baru yang tak pernah direncanakan siapa pun.
Dari kejauhan, terlihat beberapa eskavator sibuk menggali, memindahkan, menimbun, dan menutup kembali tumpukan itu — seolah sedang “merapikan” sesuatu yang tak lagi ingin diterima oleh tanah.
Padahal tanah bukan musuh. Ia hanya lelah. Lelah menelan sisa makanan yang membusuk tanpa udara, lelah menyerap air lindi yang meracuni akar-akar kehidupan.
Dan mungkin, yang sebenarnya terjadi bukan tanah yang menolak — tapi manusia yang lupa bagaimana menghormatinya.
Sampah Organik yang Jadi Masalah, Bukan Solusi
Sebagian besar sampah di Indonesia sebenarnya bisa kembali ke bumi dengan damai. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 60% sampah nasional adalah sampah organik, tapi ironisnya, hanya 10% yang berhasil diolah kembali menjadi kompos atau pupuk cair.
Sisanya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang kini makin sesak dan tak lagi mampu menampung.
TPA Leuwigajah di Cimahi, misalnya, sempat mengalami longsor tragis pada 2005 akibat timbunan gas metana dari sampah organik yang membusuk — menewaskan lebih dari 140 orang.
Peristiwa itu seharusnya jadi pelajaran nasional bahwa sisa makanan bukan hal sepele.
Setiap kulit pisang yang dibuang sembarangan, setiap sisa nasi yang ikut dalam kantong plastik, adalah bahan bakar kecil bagi bencana besar.
Dan di balik semua itu, ada pesan yang harusnya sederhana: sampah organik seharusnya menghidupkan tanah, bukan membunuhnya.
Tanah yang Kehilangan Nafas
Tanah adalah tubuh bumi. Ia bernapas lewat pori-pori mikroorganisme yang hidup di dalamnya.
Namun, saat sampah organik menumpuk di TPA, tertutup plastik dan limbah lain, proses alami itu berhenti.
Alih-alih jadi kompos, ia membusuk tanpa oksigen — menghasilkan gas metana yang mempercepat pemanasan global hingga 25 kali lebih kuat daripada CO₂.
Penelitian KLHK 2023 memperkirakan, emisi gas metana dari limbah organik menyumbang sekitar 8% total emisi gas rumah kaca nasional.
Artinya, mengolah sisa makanan di dapur atau di sekolah punya efek langsung terhadap upaya menahan laju perubahan iklim.
Ketika tanah tidak lagi bisa menyerap, bumi kehilangan kemampuan alaminya untuk memperbaiki diri.
Dan ketika itu terjadi, bukan hanya udara yang tercemar — tapi hati manusia yang makin jauh dari rasa tanggung jawab ekologisnya.
Dari Tumpukan ke Kehidupan: Mengapa Kita Harus Bergerak
Perubahan tak selalu butuh proyek besar — kadang hanya butuh satu keputusan: untuk tidak membiarkan sisa hidup menjadi sisa masalah. Sekolah, masjid, dan rumah tangga bisa mulai dengan langkah kecil yang berkelanjutan:
- Bangun bank sampah organik komunitas.
Pisahkan sisa dapur, daun kering, dan limbah makanan untuk diolah bersama.
Bukan hanya soal kebersihan, tapi soal mengembalikan kesadaran bahwa setiap sisa punya nilai. - Gunakan kembali hasilnya.
Kompos bisa menjadi pupuk bagi kebun sekolah, taman masjid, atau program Sedekah Oksigen.
Dengan begitu, daur ulang bukan sekadar program, tapi siklus hidup yang utuh. - Edukasi dan kampanye.
Ajak anak-anak, jamaah, dan masyarakat mengenal kembali tanah — bukan lewat teori, tapi lewat pengalaman menanam dan mengolah.
Ketika gerakan daur ulang organik dilakukan bersama, bukan hanya volume sampah yang berkurang — tapi hubungan kita dengan bumi juga mulai pulih.
Saat Bumi Meminta Kita Mendengar
Mungkin tanah tidak bisa bicara, tapi ia sudah lama memberi tanda. Tiap kali banjir datang, tiap kali udara menghangat, tiap kali bukit sampah tumbuh — itulah cara bumi berbisik, “Aku sudah penuh.”
Dan kalau kita tak juga belajar mendengar, maka suatu hari nanti, bukan tanah yang kehilangan daya serap, tapi hati kita yang kehilangan rasa syukur.
Karena mencintai bumi bukan sekadar tentang menanam, tapi tentang berhenti menambah beban yang tak perlu.
Seperti kata pepatah lama: “Bumi bukan warisan dari leluhur, tapi titipan untuk anak cucu.”
Mari kita jaga titipan itu — mulai dari sisa yang kita hasilkan hari ini.
Gerakan Daur Ulang Organik Bersama DBA
Setiap sekop kompos yang dihasilkan adalah napas baru bagi bumi.
Mari bantu sekolah dan masjid membangun unit daur ulang organik yang mandiri — agar tanah kembali bisa bernapas, dan kita belajar kembali bagaimana cara berterima kasih kepada bumi.





