Menanam pohon adalah cara paling sederhana untuk menjaga udara bersih, ruang hijau, dan kehidupan berkelanjutan tetap tumbuh.
Langkah kaki seorang laki-laki menjejak tanah, dan dari bawahnya muncul kilatan cahaya seperti aliran listrik. Gambar itu seperti metafora dari apa yang kita butuhkan hari ini: hubungan yang hidup antara manusia dan bumi. Ketika kita menanam pohon, sesungguhnya kita sedang menghubungkan kembali diri kita dengan napas bumi.
Udara bersih kini tak lagi datang begitu saja. Polusi, panas ekstrem, dan berkurangnya ruang hijau membuat perubahan iklim terasa di setiap sudut kota. Namun di tengah semua itu, menanam pohon masih menjadi satu-satunya tindakan kecil yang bisa memberi hasil besar — bukan hanya bagi alam, tapi bagi hati yang ingin merasa berguna.
Menanam Pohon di Tengah Dunia yang Lupa Bernapas
Kita hidup di masa di mana udara bersih jadi barang langka. Laporan IQAir 2024 menunjukkan kualitas udara di beberapa kota besar Indonesia masuk kategori “tidak sehat”, dengan konsentrasi PM2.5 mencapai 50–60 µg/m³, jauh di atas batas aman WHO. Sementara tutupan ruang hijau di perkotaan terus menyusut; Jakarta hanya memiliki 9% dari luas ideal 30%.
Setiap hari, bumi kehilangan jutaan daun — tapi kita bisa menggantinya dengan satu langkah: menanam pohon. Karena setiap pohon yang tumbuh adalah pabrik oksigen alami, penyaring debu, penurun suhu, dan penjaga kehidupan di bawahnya.
Dan lebih dari itu, menanam pohon adalah tanda kita masih peduli. Bukan hanya pada udara yang kita hirup, tapi pada masa depan anak-anak yang akan hidup di bawah langit yang kita tinggalkan.
Menanam Pohon Sebagai Ibadah Ekologis
Bagi banyak orang, menanam pohon hanyalah kegiatan sosial atau proyek penghijauan.
Namun bagi yang memahami, ini adalah bentuk ibadah ekologis — amal yang berakar di tanah dan berbuah udara bersih.
Satu pohon mangga di halaman masjid bisa memberi teduh bagi pejalan kaki dan burung yang singgah.
Satu pohon kelor di halaman sekolah bisa menjadi pelajaran nyata tentang keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Dan satu pohon trembesi di pinggir jalan bisa menurunkan suhu di sekitarnya hingga 2 derajat Celsius.
Menanam pohon adalah cara paling tenang untuk meminta maaf kepada bumi. Ia tidak butuh upacara, cukup niat dan sedikit tenaga.
Karena setiap daun yang tumbuh adalah doa, dan setiap akar yang menembus tanah adalah janji kita untuk menjaga kehidupan berkelanjutan.
Dari Sekolah dan Masjid, Tumbuh Gerakan Kehidupan
Perubahan iklim tidak bisa dihadapi sendirian. Tapi gerakan kecil yang dimulai dari tempat sederhana bisa melahirkan efek besar.
Sekolah ramah lingkungan bisa mengajarkan anak-anak untuk menanam pohon sebagai bagian dari kurikulum kehidupan. Masjid hijau bisa memanfaatkan halaman belakang sebagai taman oksigen — tempat jamaah belajar merawat, bukan hanya berdoa.
Ketika ruang-ruang ibadah dan belajar menjadi ruang hidup, menanam pohon berubah dari kegiatan simbolis menjadi budaya gotong royong ekologis.
Menanam berarti percaya bahwa sesuatu yang kita tanam hari ini akan hidup lebih lama dari kita.
Dan keyakinan itulah yang membedakan mereka yang hanya tinggal di bumi, dengan mereka yang ikut menjaganya.
Napas yang Kita Kembalikan
Suatu hari nanti, anak-anak mungkin akan bertanya: “Bagaimana rasanya udara yang segar itu, Ayah?”
Jawaban terbaik bukan cerita, tapi tindakan — satu pohon yang kita tanam hari ini.
Bumi bernapas karena kita mau menanam kembali. Dan manusia bernapas karena bumi masih sabar memberi. Di antara dua napas itu, ada satu kesadaran yang tumbuh: bahwa hidup tidak sekadar bertahan, tapi saling menjaga.
Menanam pohon bukan tentang menghijaukan dunia, tapi tentang mengingatkan diri bahwa bumi masih punya ruang untuk cinta yang diam-diam bekerja.
Dukung Gerakan Menanam Pohon DBA
Setiap pohon adalah napas yang dibagikan. Mari bantu menyalakan kembali kehidupan lewat gerakan menanam pohon di sekolah, masjid, dan komunitas.
Dukung Gerakan Menanam Pohon Bersama DBA





